Mei 19, 2017

Cerita Pertama Kali Menggunakan BPJS Kesehatan

Sejak 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan mulai berlaku di Republik ini, sesuai amanat UU No. 24 Tahun 2011. BPJS singkatan dari Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Secara prinsip, program BPJS ini sangat baik dan menguntungkan WNI karena menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia dari bayi yang baru lahir sampe orang yang sudah sepuh. Tentu dengan kewajiban yang sudah disyaratkan (red-iuran). Bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pegawai BUMN, BPJS sudah menjadi kewajiban. Iuran BPJS dipotongkan setiap bulan dari gaji mereka. Di tataran teknis, acap kali mengerutkan dahi dan membutuhkan kesabaran, sudah banyak cerita di media sosial mengenai kekecewaan terhadap BPJS ini. Memang tidak sempurna tapi masih berjalan. Namun, di beberapa cerita, banyak yang terbantu pula dengan BPJS ini. 

Saya punya seorang teman. Dulunya, ia bekerja di perusahaan swasta yang memberikan benefit asuransi kesehatan umum, sebut saja ABDA Insurance. Ia bercerita bahwa sangat mudah mengurus dirinya ketika sakit. Tinggal datang ke Rumah Sakit yang bekerja sama dengan ABDA, tunjukan kartu, berobat, selesai. Memang sih, ada limit per tahunnya. Saat ini, ia mengabdi di perusahaan milik negara, yang kebetulan tidak memberikan benefit asuransi kesehatan umum. Asuransi yang didapat hanya BPJS Kesehatan saja. "masih alhamdulillah..", ungkapnya. 

Sejak 2014, teman saya ini mendapat ujian berupa sakit yang mengharuskan ia mengunjungi dokter spesialis. Bukan sakit yang berat seperti jantung, liver, kanker, hanya saja cukup mengganggu karena sifatnya yang estetik. Sebut saja alergi kulit. Ia berbagi pengalamannya menggunakan fasilitas BPJS ini beberapa waktu lalu. Saya coba mensarikannya. 

Berhubung teman saya ini memerlukan konsultasi dengan dokter spesialis, datanglah ia ke fasilitas kesehatan tingkat I Klinik Zaskia Husada di Lubuk Pakam sana. Sudah barang tentu, di klinik tersebut tidak ada dokter spesialis, hanya dokter umum saja. Ia meminta rujukan ke dokter spesialis. Menurut penuturan resepsionis, rujukan dari faskes I harus ke Rumah Sakit tipe C, tidak boleh langsung ke Rumah Sakit tipe B. Lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya, sekitar 5 km. Oia, ada yang terlupa. Ia datang ke klink hari selasa. Berhubung tidak ada jadwal spesialis di hari tersebut, maka ditawarkan di hari berikutnya, rabu, pukul 9 - 12 WIB. Surat rujukan baru dapat diambil hari rabunya. Esok hari ia datang, resepsionis bilang kalau jaringan sedang mati jadi dibuatkan surat rujuan offline dengan catatan di bawahnya. Teman saya baru tahu kalau rujukan itu sudah bisa dilakukan secara online. Sebelum pergi, mbak resepsionis berpesan untuk membawa fotokopi Kartu Keluarga 3 rangkap. Teman saya kaget, "lah gimana mba baru ngasih tau sekarang, saya bukan asli domisili disini", keluhnya. Terus mbaknya bilang, "dicoba aja dulu mas, minta tolong dengan petugasnya". Teman saya mulai agak kesal karena pemberitahuan yang mendadak itu. Macam-macam pikiran ada di kepalanya. Akhirnya, tanpa pikir panjang, teman saya bergegas menuju RS tipe C tersebut, RS Patar Asih, Lubuk Pakam.
Surat Rujukan dari Faskes Tk I
Tidak lama berkendara, teman saya telah sampai di RS Patar Asih. Kesan pertama: Rumah Sakitnya sederhana tetapi bersih. Itu saja. Dengan membawa berkas, teman saya memasuki lobi, mencari tempat pendaftaran. Di pintu masuk lobi, seorang satpam menanyakan keperluannya. Tanya jawab singkat, pak Satpam tersebut memberikan nomor anterian dan mempersilahkan untuk menunggu. Hanya terpaut 3 anterian, teman saya dipanggil oleh mbak resepsionis, Seperti yang dibilang oleh mbak resepsionis klinik, teman saya diminta menyerahkan surat rujukan beserta fotokopi kartu BPJS, KTP, dan surat rujukan masing-masing 3 rangkap. Ternyata bukan Kartu Keluarga yang diinformasikan oleh resepsionis klinik. Berhubung teman saya ini datang di waktu yang mempet dengan jadwal praktek yang akan habis, mbaknya bilang lanjut saja tetapi berkasnya menyusul, difotokopi setelah selesai konsultasi. 

Selanjutnya, kata teman saya, anterian juga tidak begitu lama, hanya sekitar 15 - 20 menit. Memang bisa dikatakan pengunjungnya tidak terlalu banyak. Pas bertemu dengan dokter spesialis, teman saya menceritakan apa yang dialaminya dan bagaimana biasanya men-treatment-nya. Teman saya sudah beberapa kali bertemu dokter spesialis, baru 1 dokter yang resepnya cocok dengannya. Obatnya racikan dari beberapa jenis obat, bentuknya padat/cream. Di dunia ini, memang berbagai perusahaan memproduksi obat dengan fungsi sejenis yang harganya beraneka ragam, dari yang murah (generik) sampai yang mahal. Ini anak Farmasi lebih paham yang beginian. Kebetulan banget resep yang cocok untuk teman saya ini kalau ditotal berkisar 400 - 500 ribu (untuk 2 racikan obat). Biaya yang lumayan untuk pemakaian yang sifatnya rutin. Ia biasanya ke spesialis setiap 2 bulan sekali. Meskipun berbeda-beda apotek atau Rumah Sakit, tetap harganya tidak pernah di bawah 400 ribu, tentu dengan jumlah dan jenis obat yang sama. Memang pasarannya segitu. Oia tambahnya, biaya tersebut belum termasuk biaya konsultasi dokter spesialis yang umumnya di atas 120 ribu. Total per tahunnya, silahkan dihitung sendiri. Yang pasti, lumayan kalau untuk dibelikan gorengan dan es teh manis. Gimana mau sehat coba kalau makanannya gorengan plus es. hehehe. #intermezzo.

Singkat cerita, dokter tersebut memberikan resep obat sesuai dengan yang teman saya inginkan (karena memang cocok). Dengan hati yang berbunga-bunga (lebay sih), ia menuju apotek RS. Belom selesai dia berbahagia, mbak apotekernya bilang, "wahh.. ngga ada ini mas obatnya, lagipula kalau ditotal 450 ribu". Teman saya memang sudah menduga akan semahal itu. Lebih lanjut mbaknya nanya, "mau ditebus sendirinya di apotek luar?". Dalam hati teman saya, "ngapain saya pakai BPJS kalau harus keluar biaya lagi, mending langsung datang ke dokter spesialis. singkat, padat, tidak butuh waktu banyak". Mbaknya bilang kalau memang tidak bersedia ia akan menanyakan ke dokter apa penggantinya. Teman saya pun mengiyakan sembari izin untuk melengkapi berkas tadi (cari tempat fotokopian). Memang sudah diputuskan oleh Allah kalau ia harus lebih bersabar. Pasalnya, listrik di sekitar RS mati. Jadi, gagal memfotokopi. Ia tidak menyerah, ia mencari tempat fotokopi yang jaraknya barang 4 km, sembari mencari tempat makan siang.
Salinan Resep
Sesampainya di RS lagi, ia menuju apotek. Oleh mbaknya, ia diarahkan ke kasir untuk meminta bukti pembayaran, baru kembali lagi ke apotek untuk mengambil obat. Alhamdulillah dibayarin oleh BPJS. Namun, ia agak kaget ketika melihat total tagihannya, biaya dokter spesialis 120 ribu, obatnya hanya 35 ribu. Jeng-jeng-jeng. Yasudah, masih untung dikasih obat. Apakah obatnya cocok dengannya atau ngga, biar nanti waktu yang menjawabnya. Hitung-hitung nyoba obat baru. Kalau cocok, alhamdulillah dapat resep dengan harga terjangkau. Yuk, kita doakan, semoga teman saya ini sehat-sehat selalu, barokah umurnya, dan segera sembuh dari sakitnya, Aamiin. Sekian cerita singkat saya tentang pengalaman teman saya memakai BPJS pertama kali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar