September 25, 2013

Kau Angin

Semula aku sangka kau gelombang
tapi setiap kali aku renangi
Kau menggasing bagai angin
Peluh membuncah dan ruh dan tubuh gelisah
adalah ibadah bagi cinta tak berjamah
Di situ, kunikmati teduhmu
sesekali sebelum kau berhembus pergi

Aku buru suara seruling di jauhan
yang kutemukan dedahan bergesekan
Aku termangu tertipu gerakmu
sehening batu di keadalaman rinduku

Kini aku tahu, tak perlu memburumu
Kau hidup di dalam dan di luar diriku
Tak berjarak namun terasa jauh
Teramat dekat namun tak tersentuh

Jika benar kaulah angin itu
semauku akan kuhirup kamu
Dalam jantung yang berdegup
kau gairah baru bagi hidup
Mengalirlah darah, mengalirlah
dalam urat nadi cintaku
karenamu, kekasihku!

-Sitok Srengenge-

September 22, 2013

Wisuda Merbabu: Streeessss bet siii!


Tiga minggu lalu, untuk kesekian kalinya saya bersama kawan-kawan AADT (Arung Alam Dekati Tuhan) mencoba mendekatkan diri pada Tuhan. Kali ini kami mencoba mendaki gunung Merbabu. Merbabu terletak di propinsi Jawa Tengah, tepatnya di perbatasan kabupaten Magelang, Boyolali, Salatiga dan Semarang. Posisi Merbabu cukup strategis untuk mendapatkan pemandangan gunung-gunung lain. Sebelah selatan ada Merapi, sebelah timur ada Lawu, sebelah utara ada Ungaran, dan sebelah barat terlihat Sumbing, Sindoro dan Sikunir. Sebenarnya di sebelah barat pun seharusnya terlihat Slamet tetapi kemarin tidak terlihat atau memang sayanya yang ngga ngeh. Hehe.
Merbabu memiliki beberapa puncak. Puncak paling tinggi adalah puncak Kentheng Songo, tingginya 3142 mdpl. Puncak lainnya yaitu puncak syarif, tingginya 3119 mdpl. Untuk menuju puncak ada 3 jalur yang bisa dipilih yaitu jalur Selo, jalur Wekas, dan jalur Kopeng. Kami memilih jalur Wekas karena waktu tempuh yang lebih pendek dan lokasi yang lebih dekat dari Semarang. Kebetulan kami menggunakan KA Tawang Jaya yang tujuan akhirnya stasiun Semarang Poncol. Sebagai gambaran, berikut catatan perjalanan yang coba kami buat:
---
Jum’at, 13 September 2013
22.10 – 05.16           Perjalanan dari stasiun Pasar Senen – stasiun Semarang Poncol menggunakan KA Tawang Jaya. Kereta terlambat, kami tiba di Poncol pukul 06.45
Sabtu, 14 September 2013
06.45 – 09.00           Sarapan pagi dan lain-lain
09.00 – 12.00           Perjalanan dari stasiun Semarang Poncol – base camp Wekas menggunakan truk
12.00 – 13.00           Istirahat, sholat, makan, repacking
13.00 – 17.30           Base camp Wekas – Pos 2
17.30 – 04.00           Istirahat, pasang tenda, makan, ngobrol, tilawah, api unggun, masak, nyemak, dll.
Ahad, 15 September 2013
04.00 – 08.20           Pos 2 – Puncak Kentheng Songo
08.20 – 09.00           Puncak Kentheng Songo. Foto-foto. Menikmati keindahan alam dan merenungi ciptaan Tuhan
09.00 – 11.00           Puncak Kentheng Songo – Pos 2
11.00 – 13.00           Istirahat, sholat, makan, bongkar tenda, packing
13.00 – 14.20           Pos 2 – base camp Wekas
14.20 – 15.15           Istirahat, bersih-bersih, sholat, packing
15.15 – 18.30           Perjalanan dari base camp Wekas – stasiun Semarang Poncol
18.30 – 20.00           Makan, sholat, bersih-bersih, beli minum & makanan kecil
20.00 – 04.00           Perjalanan dari stasiun Semarang Poncol – stasiun Jatinegara menggunakan KA Kertajaya. Seharunya kereta berangkat pukul 19.33, sampai 02.53
---
Base camp Wekas – Pos 2
Perjalanan dari base camp Wekas ke pos 2 cukup melelahkan, maklum beberapa dari kami masih kurang persiapan fisik bahkan mungkin ada yang tidak tetapi ngaku-nya sudah lari, lari dari kenyataan atau lari-lari dalam mimpi *emotstraightface. Ya, jadi 4,5 jam baru sampai pos 2, sudah menjelang maghrib pastinya. Kondisi pos 2 ini lumayan luas, bisa muat lebih dari dua puluhan tenda (semoga engga lebay). Selain itu, terdapat sumber air. Ya! Air sangat penting buat kami para pendaki gunung, tanpanya kami kehausan dan kelaparan. Semakin sadar bahwa air sangat vital bagi keseharian. Sayangnya kadang masih ada orang yang boros menggunakan air contoh berwudhu dengan kran dibuka full padahal dengan dibuka setengah saja, itu sudah cukup untuk berwudhu.
Medan menuju pos 2 rata-rata sekitar 45 derajat. Bah! Ini angka darimana, memang agak-agak kirologi sih. Jalan setapaknya berdebu, bukan pake aja melainkan pake banget. Esoknya pas turun ke bawah dan sampai depok, baru sadar kotoran hidung-nya menghitam *iyeeuhhh. Itu artinya medannya memang sangat berdebu. Perlu diingat, naiknya bulan September, medan berdebu, jangan lupa bawa masker. Sepanjang jalan, pohon-pohonan masih banyak bertengger, terkadang panas, terkadang bisa ngadem. Saat mulai naik, cuaca masih mendung, adem dong. Terus 30 – 60 menit berlalu matahari mulai nongol, *jeng-jeng lupa make sun screen/sun block. Sisa olean sun screen di Semarang udah kebasuh sama air wudhu untuk sholat dzuhur – ashar. Yah! Nasib.

Kode SOS Palsu
Ada kejadian menarik waktu pendakian kemarin. Intinya adalah ada orang yang teriak minta tolong (sembari menyalakan lampu senter kedap-kedip ke arah pos 2) dan minta dibawain air ke atas (mungkin sekitar pos pemancar). Kami yang ada di pos 2 panik karena ada juga laporan dari orang yang baru turun bahwa ada rombongan yang collaps. Koordinasi dengan berbagai rombongan dilakukan, logistik disiapkan, alat resque sederhana juga dipersiapkan. Jumlah tim resque 6 atau 7 orang (saya lupa). Perjalanan sekitar 2 jam. Sampai di pos pemancar, ternyata kami dibohongi. Rombongan yang ditemui di sekitar pos pemancar tidak mengaku berteriak minta tolong, bahkan malah membuat kesal. Sungguh sangat disayangkan perilaku tersebut. Helloww, gunung bukan tempat untuk ngerjain orang karena taruhannya bisa nyawa. Akhirnya, tim resque turun ke pos 2 dengan tangan hampa dan mungkin rasa kesal. Bagi saya, ini jadi pelajaran penting bahwa siapapun tidak boleh sembarangan menggunakan kode SOS atau memohon bantuan jika memang tidak terjadi apa-apa. Kejadian seperti ini justru bisa membuat sebagian orang anti-pati terhadap kode SOS. Orang yang sudah pernah atau menyaksikan temannya dibohongi mungkin akan tidak peduli jika ada kode SOS lagi di perjalanan berikutnya. Padahal mungkin kode SOS tersebut memang benar-benar keadaan kritis. Ya, semoga tidak demikian dan semoga mereka yang mengerjai diberikan kesadaran, aamiin.

Menuju Puncak Kentheng Songo
Kami bangun pukul 03.15. Suhu udara tak mau kompromi. Di luar tenda tentu lebih dingin. Rencana kami semalam, mulai summit attack pukul 04.00, agak siang memang karena target kami hanya sampai pos pemancar. Pakaian double, jaket double, kupluk, sarung tangan (gloves), kaus kaki double, sepatu, headlamp/senter, syal, tetapi udara masih aja menusuk. Tidak semua dari kami ikut summit attack, ada 3 orang yang menunggu tenda karena kondisi fisik tidak memungkinkan. Di perjalanan menuju pos pemancar juga 1 orang diantar kembali ke pos 2 karena kadar oksigen pagi hari masih tipis, kekurangan oksigen bagi sebagian orang cukup mengganggu pernapasan.
Sampai di pertigaan menuju pos pemancar (ke kiri) – puncak (ke kanan) sekitar pukul 06.20. Dengan agak sedikit memaksa kami menuju puncak. Jalanan berbatu, sedikit datar. Sebelah kiri jurang, mendatar lagi, naik terjal agak merangkak. Sampailah di pos helipad. Kondisi kanan kiri masih jurang, memang kami melewati punggung bukit. Orang lebih sering menyebut jalur tersebut sebagai jembatan setan karena kanan kiri-nya jurang. Kemudian, kadang datar, nanjak dikit, turun dikit, berbatu, berdebu. Lengkap sekali medan Merbabu ini. Menjelang pertigaan pertemuan jalur Wekas – Kopeng, medan sangat curam. Setapak demi setapak, sebelah kiri jurang, dalam, kalau jatuh ya wassalam. Sampai di pertigaan, ambil ke kanan. Di depan kami terlihat puncak syarif. Di posisi ini, kami sudah cukup dapat pemadangan Sindoro, Sumbing, Sikunir dan Lawu. Merapi belum terlihat. Sampai disini saya sudah ketar-ketir khawatir waktu ngga kekejar. Beberapa dari kami sudah di depan menuju puncak Kentheng Songo, beberapa mencukupkan diri disini. Dari posisi ini menuju Kentheng Songo, mendatar, sebelah kiri jurang sekitar 60 – 70 derajat (lagi-lagi kirologi), naik dikit, turun dikit, berbatu, kalau berpapasan salah satu harus berhenti karena kalau tidak bisa tergelincir ke jurang. Menjelang puncak, medan-nya sangat wah. Terjal, berbatu, berdebu! Perlu sedikit merangkak, pegangan kuat, berdekatan dengan yang lain untuk mengulurkan tangan (bagi sesama jenis). Fiuh, tanjakan terakhir adalah tanah tebal berdebu. Akhirnya, sampai juga di puncak Kentheng Songo pukul 08.20.
Di puncak, ritual dimulai. Cekrak, cekrik, hup, cheese, itu suara-suara yang keluar saat mau diambil gambar. Alhamdulillah cuaca cerah, matahari terik, angin sepoi-sepoi, kadang kabut menutupi Merapi. Pemandangan sungguh exotis. Dari sini, terlihat Merapi, jelas, elegan! Selama 40 menit, kami berfoto ria dengan berbagai gaya, membuat tulisan, foto dengan spanduk, dst. Lelah? Pasti. Namun, di puncak gunung, semuanya terbayar. Serius. Turun pukul 09.00, agak setengah berlari tetapi tetap berhati-hati. Sampai di pos 2 pukul 11.00, alhamdulillah.
---
Biaya perjalanan kali ini cukup hemat, cocok untuk ukuran mahasiswa meskipun empot-empotan juga. Hehe. Harga tiket KA Tawang Jaya sebesar Rp 45.000, KA Kertajaya Rp. 50.000. Sementara transportasi dari Semarang ke Wekas, kami menggunakan truk. What! Truk? Yap betul truk yang biasa buat ngangkut pasir, sayur-mayur, sapi, kambing, dst. Jadilah kami ber-25 sapi yang dipanggang panasnya matahari. Tentunya sebelum naik truk kami ribet-ribet memakai sun screen, sun block, after sun, dan sun-sun yang lain, supaya warna kulit tidak menghitam, hehe. Kami menyewa truk pulang – pergi tetapi truk tidak menginap. Biaya sewanya lebih murah Rp 400.000 dari harga normal. Kebetulan salah satu rombongan kami memiliki teman di Semarang, jadi saya meminta tolong beliau untuk mencarikan kendaraan. Enak tho punya banyak teman? Tapi jangan sampai sepragmatis itu ya dalam berteman. Itu bisa jadi disebut sebagai tingkatan teman paling rendah, yang hanya ingin mengambil manfatnya saja. Namun, saya percaya setiap kalian tidaklah demikian. Lanjut, untuk uang logistik saya alokasikan Rp 100.000. Itu mencakup sewa alat, beli gas, parafin, bahan makanan, biaya masuk kawasan Merbabu, P3K, dll. Jumlah 25 orang cukup membuat berbagi biaya tetapi mengkoordinasikan pendakian dengan jumlah segitu juga cukup melelahkan, hehe *lebay.
Mungkin sebagian orang membayangkan mendaki gunung merupakan perjalanan memprihatinkan (meski sebenarnya iya, hehe, kalau tidak dipersiapkan dengan baik). Jika dipersiapkan dengan baik makan semuanya akan senang-senang saja. Contoh: kami bisa makan ayam goreng di gunung. Buat yang mbah Gunung alias orang yang sering naik gunung, mungkin itu biasa. Bagi AADT luar biasa karena baru kali ini menunya ayam goreng, hehe. Itu tidak terlepas dari koki yang handal. Oia, jago masak di rumah belum tentu jago masak di gunung lho. Ternyata suhu udara cukup berpengaruh. Jadi, bagi yang pinter masak jangan sombong kalo bisa masak di gunung, coba buktikan dulu. Selain ayam goreng, ada sayur sop, tumis sayur. Sebenernya kami juga udah bawa bahan untuk masak brokoli cheese melt (eh bener ngga nih namanya *emotkeringetsatubiji) tapi karena cheese-nya ngga melt-melt meski sudah dicoba beribu cara, akhirnya mission failed. Mungkin cheese-nya bisa melt kalo liat cowok ganteng yak, hehehe. Kami juga bawa lauk siap saji, sebut saja ikan bilih danau kerinci campur kacang, hmm yummy (tapi ga sempet makan juga sik L). Ada juga dendeng kering srundeng tapi ini udah duluan abis di base camp Wekas, bersama lontong, hehe. Ya, intinya sangat menyenangkan perjalanan mendaki gunung bersama AADT, selalu ceria, dzikir tetep jalan karena ada ustadz-nya, makanan enak, minuman juga sehat, cemilan lengkap, alat dokumentasi lengkap, biaya terjangkau*, hehe (*relatif tergantung status, buat yang udah kerja lumayan terjangkau, buat yang masih mahasiswa atau baru lulus, yaa lumayan empot-empotan, hehe).

Ada dua hal lagi yang kelupa. Pertama, mendaki Merbabu ini sebenarnya buat merayakan wisuda beberapa anggota AADT (tentunya juga mendekatkan diri pada Tuhan) tapi yang buat krik-krik adalah toga udah dibawa sampai pos 2 tapi lupa dibawa ke puncak. Alhasil, ndak ada foto bertoga di perjalanan kali ini, sedih bener yang udah bela-belain bawa toga. Yasudahlah, yang penting perjalanan lancar dan kembali ke rumah dengan selamat, it’s enough i think :). Kedua, setiap perjalanan, AADT selalu memiliki jargon. Kali ini jargonnya adalah Streeessss bet siii! ini dipatenkan dari celetukan salah satu anggota AADT. Sepanjang perjalanan, setiap diledekin maka muncul celetukan yang ada kata-kata stresss-nya, mungkin memang stres beneran, hehe. Kalau stres beneran malah saya tidak khawatir karena Merbabu dekat dengan Magelang dimana terdapat Rumah Sakit Jiwa :p. Menjelang turun dari pos 2 ke base camp Wekas, kami tak lupa meneriakkan jargon. Wisuda Merbabu!!! Streeessss bet siii!!!

-Berikut spoiler foto-fotonya-
Pemandangan Gunung Lawu
Tanjakan Terjal
Tanjakan Terjal
Tanjakan Terjal
Tanda Menuju Puncak
Pemandangan Gunung Merapi
Pemandangan Gunung Sumbing - Sindoro - Sikunir (3S)
Jembatan Setan
Puncak Syarif dan Puncak Kentheng Songo
Ai dan Merapi
Rekind Adventure Community di Merbabu
Pos Pemancar
Ai and 3S
The Team