”Ssstt…liat
dong”, ucap seorang mahasiswa dengan lirih saat ujian sedang
berlangsung. ”Gue belom!!!”. ”Eh, liyat jawaban lw dong?”, ucapnya lagi.
”belon selese!”, jawabnya. Untuk kali ketiganya ia memberi kode dengan
tangan kepada temannya, ”nomor 2…”, lirihnya. Dan seterusnya, hal yang
sama pula, di setiap sudut ruangan kelas ujian, siapapun yang imannya
tidak kuat, siapapun yang kurang PD, sampai waktu ujian habis. Apa yang
mereka lakukan?
Ya,
”Kerjasama”. Itulah fenomena riil yang terjadi di salah satu Fakultas,
Universitas paling bergengsi di Indonesia. Hal serupa banyak terjadi di
hampir setiap saat ujian dilangsungkan. Dengan catatan, sang
Dosen/Pengawas tidak ”Killer”. Meskipun ”killer”, terkadang juga terjadi
”kerjasama” tersebut. Apalagi jika si Dosen/Pengawas ”cuek” saja,
mungkin lebih parah lagi ”kerjasama”nya. Bahkan pernah kejadian dan
tentu saja nyata, seorang pengawas ujian mempersilahkan peserta ujian
untuk melakukan ”kerjasama” dengan syarat tidak boleh menimbulkan
kegaduhan. Sungguh ironis bukan??? Jika hal itu terjadi, tentu mereka
yang tidak kuat iman segera melancarkan ”aksi” nya tanpa peduli siapapun
yang penting finished, sedang mereka yang masih punya kekuatan
iman tetap berusaha untuk tidak terjerumus ke jurang setan. Akan
tetapi, Apakah sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan sistem
pendidikan yang berkeadilan??? Tentu saja bukan. Kasihan mereka yang
telah berusaha maksimal untuk mempersiapkan ujian. Lantas, bagaimana
sistem pendidikan yang seharusnya??? Jika hal ini dibiarkan
terus-menerus akan terjadi berbagai dampak negatif yang merugikan
tentunya, misalnya : membuat mahasiswa malas untuk belajar. Dampak
negatif lainnya antara lain :
1. Semakin kita tidak mempercayai kemampuan diri sendiri.
Ya, karena kita sudah terbiasa untuk bergantung kepada orang lain. Tanpa kita sadari, sifat itu ter-install dalam diri kita dan sulit bagi kita untuk mematikan sifat tersebut jika kita tidak memiliki kemauan yang kuat untuk itu.
2. Semakin menumpuknya dosa-dosa kita.
Sesuai dengan pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit,
dosa-dosa yang kita lakukan dari menyontek jika dilakukan terus-menerus
akan menjadi bukit dosa. Sungguh hal yang amat menyedihkan.
3. Semakin rendahnya harga diri kita.
Ya, kami yakin kalian telah paham dengan kalimat diatas.
4. Degradasi moral.
Semakin
sering kita menyontek berarti kita semakin sering belajar untuk
menghalalkan segala cara dalam menyelesaikan sesuatu. Hal tersebut
merupakan hal sangat tidak terpuji.
5. Mencoreng nama baik.
Sepandai-pandainya tupai meloncat pasti akan jatuh juga. Peribahasa
yang tepat untuk menggambarkan hal dimana kita menyembunyikan perkara
jelek/buruk, dalam konteks ini adalah menyontek. Tinggal menunggu waktu
saja, kita segera akan mendapat balasan yang setimpal. Ya, nama baik
kita akan tercoreng, kemudian keluarga, kemudian instansi, kemudian
negara, dan seterusnya.
Dan masih banyak dampak yang lainnya kami yakin kalian sudah paham karena kalian sudah dewasa, bukan anak kecil lagi yang harus dimomong.
Jika
dilihat dari perspektif pendidikan itu sendiri, tentu kita dilarang
untuk meminta atau memberikan jawaban saat ujian sedang berlangsung. Hal
itu jelas melanggar tata tertib ujian karena kami yakin setiap ujian
pasti memiliki peraturan yang melarang pesertanya untuk meminta atau
memberikan jawabannya saat ujian sedang berlangsung. Jika dilihat dari
perspektif Agama, tentu juga tidak diperbolehkan untuk menyontek karena
menyontek itu tidak jujur(bohong). Bohong itu adalah perbuatan tercela.
Setiap agama pasti tidak memperbolehkan umatnya untuk melakukan
perbuatan tercela. Dan dilihat dari perspektif manapun, menyontek itu
tidak dibenarkan.
Segala
sesuatu di muka bumi ini tentu ada asal muasalnya, ada penyebabnya, ada
pemicunya. Begitu pula dengan menyontek, pasti ada banyak
alasan/penyebab mengapa sebagian dari mereka menyontek, misalnya :
karena belum persiapan, ngga tau kalo ada ujian/ngga tau materi apa yang
akan diujiankan, ikut-ikutan temen yang juga nyontek, dan berbagai
alasan lainnya, dari alasan yang logis sampai yang tidak logis.
Sebenarnya
alasan apapun tidak dapat dijadikan dasar untuk menyontek. Apalagi kalo
alasannya itu karena belum siap. Sungguh aneh bin strange.
Bukankah biasanya kita diberitahu dulu sebelum ujian dilangsungkan.
Meskipun tidak diberitahukan sebelumnya, siap tidak siap kita harus
selalu siap. Apakah kita selalu dihadapkan pada hal yang selalu
disiapkan terlebih dahulu??? Tentu tidakkan! Contohnya, ketika kita
mendapatkan musibah kecelakaan lalulintas secara tiba-tiba, apakah kita
mempersiapkan diri untuk kecelakaan tersebut? Ya, intinya kita harus
siap dengan segala keadaan, apapun, dimanapun dan kapanpun.
Sungguh sulit sekali untuk menghilangkan culture yang satu ini. Diperlukan usaha ekstra keras untuk menghilangkan culture ini. Setiap stakeholder harus saling bekerjasama untuk mengentaskan hal ini. Entah itu dari dosennya, pengawasnya, maupun pesertanya. Pada dasarnya, kita harus menguatkan iman yang kita miliki supaya kita tidak terjerumus ke dalam
limbah kenistaan serta kita perlu banyak-banyak berdoa dibarengi dengan
berusaha maksimal dengan harapkan supaya kita diberikan kemudahan/jalan
di setiap cobaan yang kita hadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar